Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pasca Merger Bank Syariah BUMN Saham BRIS Naik ! Bagaimana Hukum Jual Beli Saham menggunakan Metode Istishab?



        
        PT Bank BRI Syariah, Tbk (BRIS) melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) harga saham BRIS berada pada level Rp 510,- perLembar. Namun tidak berselang lama harga saham BRIS mengalami kenaikan yang signifikan pada bulan Oktober 2020 setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, mengumumkan ke publik bahwa rencana penggabungan ketiga jenis Bank Syariah BUMN. Penggabungan bank syariah BUMN yaitu terdiri dari PT Bank Syariah Mandiri (BSM), PT Bank BNI Syariah (BNIS), dan PT Bank BRI Syariah, Tbk (BRIS) menjadi satu bank syariah BUMN. Dalam rencana penggabungan bank syariah BUMN ini ditetapkan pula PT Bank BRI Syariah, Tbk (BRIS) menjadi bank supervisor alias entitas yang berhak menerima penggabungan (surviving entity) usai proses merger yang dilakukan oleh tiga bank syariah BUMN dengan alasan bahwa BRIS menjadi satu-satunya bank syariah yang telah melantai di pasar bursa saham. 

        Akibat dari pengumuman yang disampaikan oeh Menteri BUMN tersebut memberikan angin segar terhadap saham BRIS yang baru saja melantai dibursa. Sehingga berbondong-bondong investor membeli saham BRIS yang terdapat di bursa mengakibatkan saham BRIS mengalami kenaikan menjadi ke level Rp 2.270,- perLembar (24/12) atau mengalami kenaikan 345% dari harga awal. Dalam islam, transaksi jual beli saham merupakan sebuah transaksi yang baru dan belum pernah dilakukan sejak Rasulullah SAW menyiarkan agama islam. Transaksi jual beli saham di perkenalkan pertama kali pada tahun 1602 di Belanda. Di Indonesia sendiri transaksi jual beli saham mulai diperkenalkan pada tahun 1912 di Batavia pada era penjajahan Belanda. 

    Dikarenakan transaksi jual beli saham diperkenalkan setelah Rasulullah SAW wafat maka untuk menemukan hukum suatu perkara yang tidak terdaoat didalam Al-Quran maupun Hadist maka dalam ilmu ushul fiqh para ulama menggunakan metode ijtihad salah satunya dengan menggunakan metode istishab. Istishab diambil dari Bahasa arab yaitu  استصحاب yang berarti kebersamaan (thalab al-mushabahah) atau berlanjutnya kebersamaan (istimrar ash-shubhah). 

        Menurut terminologis, para ulama ahli ushul fiqh (ushuliyun) berbeda dalam menyusun redaksi definisi istishab meskipun secara substansi mengarah pada makna yang sama. 
Menurut Ali Abdul Kafi al-Subki dari Mazhab Syafi’iyah :
Istishab adalah menetapkan hukum atas masalah hukum yanng kedua berdasarkan hukum yang pertama, karena setelah dilakukan kajian yang komprehensif tidak ditemukan dalil yang mengubahnya.

Menurut Ibnu Qayyim dari Mazhab Hanabilah :
Istishab adalah menyatakan tetap berlakunya hukum yang telah ada dari suatu peristiwa, atau menyatakan belum adanya hukum suatu peristiwa yang belum pernah ditetapkan hukumnya.

Menurut Al-Syatibi dari Mazhab Malikiyah :
Istishab adalah segala ketetapan yang telah ditetapkan pada masa yang lampau dinyatakan tetap berlaku hukumnya pada masa sekarang.

Menurut al-Syaukani dari Mazhab Zaidiyah 
Istishab adalah menetapkan hukum suatu masalah dengan hukum yang lama
sebelum ada dalil yang mengubahnya.

Sehingga dari beberapa defenisi yang dikemukakan oleh beberapa ulama diatas dapat diambil kesimpulan bahwa makna istishab adalah segala hukum yang telah ditetapkan secara lampau dan dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang kecuali jika telah ditemukan hukum yang melarangnya.

Imam Abu Zahrah dalam kitab Ushul al-Fiqh membagi istishab ke dalam empat hal, yaitu: 
Pertama, istishab al-bara’ah al-ashliyyah. Dari sini, para ulama merumuskan kaidah fiqih:
 الأَصْلُ بَرَاءَةُ الذِّمَّةِ
“Pada dasarnya setiap orang terbebas dari tanggungan”

Kedua, istishab al-ibahah al-ashliyyah, yakni istishab yang didasarkan atas hukum asal suatu perbuatan, yaitu mubah. Dari istishab ini, para ulama menetapkan kaidah:
 الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ  
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Ketiga, istishab al-hukm yaitu menetapkan hukum yang sudah ada dan berlaku pada masa lalu sampai sekarang, hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Istishab al-hukm ini melahirkan kaidah fiqih:
 الأَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ  
“Pada dasarnya, sesuatu yang telah memiliki kepastian hukum tertentu ditetapkan sebagaimana keadaan hukum semula.”

Keempat, istishab al-wasf, yaitu Istishab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yang diketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Istishab keempat ini memunculkan kaedah fiqih berbunyi:
   اليَقِيْنُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِ 
“Keyakinan tidak bisa dihilangkan dengan keraguan.”

Berdasarkan pada kaidah-kaidah fiqih yang muncul disetiap jenis-jenis istishab maka dapat ditemukan hukum dari transaksi jual beli saham yang tidak terdaoat dalam Al-Qur’an maupun Hadist dengan melalui kaidah istishab yang berbunyi :
 الأَصْلُ فِي الأَشْيَاءِ الإِبَاحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى التَّحْرِيْمِ  
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah mubah sampai ada dalil yang mengharamkannya.”

Penetapan hukum awal dari transaksi saham terletak pada hukum jual beli yang sudah ditetapkan didalam Al-Qur’an. Landasan hukum jual beli dalam islam diantaranya terdapat dalam QS. An-Nisa[4]: 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوا أَنْفُسَكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”

Begitu juga kebolehan jual beli yang terdapat dalam Hadist,
Rasulullah SAW bersabda,
سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْكَسْبِ أَطْيَبُ ؟ قَالَ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ – رواه االبزار والحاكم
“Nabi saw pernah ditanya; Usaha (pekerjaan/profesi) apakah yang paling baik (paling ideal) ?, Rasulullah saw bersabda; pekerjaan (usaha) seseorang dengan tangannya dan setiap jual beli yang baik.” (HR. Bazzar dan al-Hakim)

Berdasarkan dalil-dalil yang disebutkan diatas dan berdasarkan metode ijtihad yaitu istishab yang dipakai oleh ulama dalam menemukan sebuah hukum yang baru maka hukum jual beli saham dalam islam adalah mubah (boleh) namun terdapat batasan-batasan agar transaksi jual beli tetap berada dalam koridor halal.  

Dalam melakukan transaksi jual beli saham, seorang muslim diwajibkan untuk melakukan transaksi pada saham-saham syariah seperti pada saham BRIS yang telah  memenuhi kriteria seleksi saham syariah berdasarkan peraturan OJK Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Penerbitan Daftar Efek Syariah (DES) diterbitakn secara berkala dua kali dalam setahun yaitu pada bulan Juni dan Desember. 

Sehingga dapat disimpulkan bahwa kegiatan jual beli saham termasuk kegiatan jual beli saham BRIS yang terdapat pada bursa efek Indonesia (BEI) dalam menggunakan metode ijtihad yaitu istishab yang disamakan dengan jual beli pada umumnya maka hukumnya yaitu mubah (boleh)

Posting Komentar untuk "Pasca Merger Bank Syariah BUMN Saham BRIS Naik ! Bagaimana Hukum Jual Beli Saham menggunakan Metode Istishab?"